Hukum Pajak Ruang Lingkup Pajak Penghasilan
Baik saya disini akan
mengulas mengenai hukum pajak yang berlaku di Indonesia khususnya mengenai
pajak penghasilan. Berdasarkan kehidupan dalam masyarakat yang selalu dihantui
oleh pajak pengahsilan maka saya akan memberikan sedikit pencerahan. Semoga
sedikit pencerahan dari saya selaku penulis dapat membantu para pembaca yang
budiman sekalian.
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subyek pajak berkenaaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.[1]
Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subyek pajak berkenaaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.[1]
Pajak
penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subyek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi
Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subyek pajak badan dalam negeri menjadi
wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subyek
pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak
karena menerima dan / atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
atau menerima dan / atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak
adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan
obyektif.[2]
Setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh selama satu tahun
pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan untuk menambah kekayaan ialah objek
dari pajak penghasilan. Bagi wajib pajak dalam negeri penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dikatakan sebagai objek
pajak.
Prosedur
keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak sebagai akibat
dari adanya perbedaan penafsiran mengenai ketentuan hukum di bidang pajak
terhadap suatu kasus tertentu. Perbedaan itu terjadi antara wajib pajak dengan
direktur Jendral Pajak dan jajarannya atas penetapan tentang pajak untuk jenis
pajak pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan direktorat jendral pajak.
Perbedaan persepsi juga dapat terjadi antara wajib pajak dengan
gubernur/bupati/walikota, kepala dinas pendapatan daerah dan jajarannya di
daerah atas penetapan besarnya utang pajak untuk pajak daerah. Selain itu,
dapat juga terjadi perbedaan penafsiran antara wajib pajak dengan direktur bea
cukai dan jajarannya atas penetapan bea masuk, cukai, sanksi administrasinya.[3]
Subyek Pajak dalam Pajak
Penghasilan (PPh)
Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subyek pajak adalah:[4]
1. Orang
pribadi.
2. Warisan
yang belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak.
3. Badan
yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi, massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif.
4. Bentuk
Usaha Tetap, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur
di Indonesia oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Bentuk usaha tetap dapat berupa tempat kedudukan
manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik,
bengkel, proyek konstruksi, pertambangan, penggalian sumber daya alam,
perikanan, tenaga ahli, dan lain sebagainya.
Subyek
pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu subyek pajak dalam negeri dan subyek
pajak luar negeri yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:[5]
a. Subyek
pajak dari dalam negeri terdiri atas:
1. Subyek
pajak orang pribadi yaitu, orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat
tinggal di Indonesia.
2. Subyek
pajak badan yaitu, badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Subyek
pajak warisan yaitu warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
b. Subyek
pajak luar negeri terdiri atas:
1. Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Perbedaan
wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah
apabila wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan netto, tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum dan
wajib menyampaikan SPT. Apabila wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya
atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia, dikenakan
pajak berdasarkan penghasilan bruto, tarif pajak yang digunakan adalah tarif
sepadan, dan tidak wajib menyampaikan SPT.[6]
Yang tidak termasuk subyek pajak penghasilan yaitu:[7]
1. Kantor
perwakilan negara asing.
2. Pejabat
perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di
Indonesia.
3. Organisasi
internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota.
4. Pejabat
perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
Obyek Pajak dalam Pajak
Penghasilan (PPh)
Objek
yang mempunyai obyek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun termasuk:[8]
1. Penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
2. Hadiah
dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
3. Laba
usaha.
4. Keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta.
5. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalikan pajak.
6. Bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7. Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti
atau imbalan atas penggunaan hak.
9. Sewa
dan pengahsilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
12. Keuntungan
selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi
asuransi.
15. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan
kekayaan itu yang berasal dr penghasilan yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan
dari usaha berbasis syariah.
18. Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan.
19. Surplus
Bank Indonesia.
Obyek
Pajak Penghasilan (PPh) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh selama satu tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan
untuk menambah kekayaan.[9]
Bagi wajib pajak dalam negeri, obyek pajak adalah penghasilan baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi wajib pajak luar
negeri, obyek pajak adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia. Penghasilan
tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan
dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan
dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan
dari modal atau penggunaan harta seperti sewa, bunga, dividen, royalty,
keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan dan sebagainya.
4. Penghasilan
lain-lain yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah
satu dari tiga kelompok penghasilan di atas.
Bagi
wajib pajak dalam negeri, yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi wajib pajak
luar negeri, yang menjadi obyek pajak hanya penghasilan yang berasal dari
Indonesia saja.
Adapun yang tidak termasuk di dalam obyek pajak
penghasilan (PPh) yaitu meliputi:
1. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keuntungan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau bandan
pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3.
Warisan.
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
5. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan
dari wajib pajak atau pemerintah.
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
7. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN,
atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia
8.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun pegawai.
9.
Penghsailan dari modal uang ditanamkan oleh dana
pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan pleh menteri keuangan.
10. Bagian laba yang
diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
11. Bunga obligasi yang
diterima atau diperoleh perusahaan raksadana selama 5 tahun pertama sejak
pemberian ijin usaha.
12. Penghasilan yang
diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalanjan usaha atau kegiatan di Indonesia
Keberatan Atas Pajak
Penghasilan (PPh)
Dalam
Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28
Tahun 2008. Ketentuan mengenai keberatan atas pajak penghasilan diatur dalam
pasal 25. Untuk mengajukan keberatan, prosedur yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut:[10]
1. Wajib
pajak mengajukan keberatan kepada direktur jendral pajak atas pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
2. Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib
pajak disertai alasan-alasan yang jelas.
3. Keberatan
diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan
atau pemungutan, kecuali jika wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
4. Keberatan
yang diajukan tidak menunda kewajiban membayar pajak (dalam hal ini 50% utang
pajak harus dilunasi dahulu sebagai syarat diterimanya keberatan ini) dan tidak
menghalangi tindakan penagihan pajak.
Satu
surat keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak,
misalnya Pajak Penghasilan (PPh tahun 2003) harus diajukan masing-masing dalam
satu surat keberatan. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua lembar
surat keberatan.
Wajib
pajak yang mengajukan surat keberatan diberi tanda terima oleh pejabat
Direktorat Jendral Pajak yang ditunjuk untuk itu. Bila wajib pajak memasukkan
surat keberatan melalui pos tercatat maka resi pos digunakan sebagai tanda
bukti penerimaan surat keberatan. Tanda bukti atau tanda terima atau resi pos
penerimaan tersebut juga digunakan sebagai alat pengawasan bagi wajib pajak.
Terutama untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas tahun sebagaimana
dimaksud dalam pasal 26 ayat 1 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2008 berakhir.
Disamping
itu, tanda bukti atau resi pos penerimaan diperlukan untuk memastikan bahwa
keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut wajib pajak tidak
menerima surat keputusan tentang keberatan dari Direktur Jendral Pajak. Sebelum
wajib pajak mengajukan surat keberatan, wajib pajak diberi hak untuk meminta
perhitungan atau pengenaan pajak yang dikenakan kepadanya. Perincian dasar
pengenaan pajak ini digunakan untuk menyusun surat keberatan. Pejabat pajak
harus memberikan permohonan ini kepada wajib yang bersangkutan.
Sebelum
dikeluarkannya surat keputusan Direktur Jendral Pajak atas surat keberatan
wajib pajak, wajib pajak diperbolehkan menyampaikan alasan-alasan tambahan atau
penjelasan susulan. Keputusan Direktur Jendral Pajak atas surat keberatan wajib
pajak tersebut antara lain:
1. Menerima
seluruh keberatan.
2. Menerima
sebagian keberatan.
3. Menolak
keberatan.
4. Menambah
besarnya jumlah pajak.
Dari
keputusan atas keberatan tersebut, apabila wajib pajak merasa tidak puas atas
suatu keputusan dari Direktur Jendral Pajak tersebut, masih ada upaya banding
kepada pengadilan pajak.
Perlakuan PPh atas
kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk
menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian
bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri
Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea
siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan
sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut “kerugian” adalah: kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang
dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang
dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang
dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui
mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan
harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena
sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena
sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah
harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai
kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian
asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat
disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum
memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut
pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas
penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang
demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana
alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu
bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak
dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya
kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di
Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau
barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok,
metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan
tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama
juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama
terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan
yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk
memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah
menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah
terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak
benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal,
antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh
Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti
pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan
(bila diperlukan).
2.5
Cara Melunasi Pajak Penghasilan (PPh)
1.Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan
pajak dalam masa pajak yang meliputi:
A. Pembayaran sendiri oleh wajib pajak (PPh pasal 25) untuk setiap masa pajak.
B. Pembayaran pajak melalui pemotongan/pemungutan pihak ketiga (orang pribadi atau badan baik swasta maupun pemerintah) berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak terutang selama tahun pajak itu berjalan , yaitu:.
A. Pembayaran sendiri oleh wajib pajak (PPh pasal 25) untuk setiap masa pajak.
B. Pembayaran pajak melalui pemotongan/pemungutan pihak ketiga (orang pribadi atau badan baik swasta maupun pemerintah) berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak terutang selama tahun pajak itu berjalan , yaitu:.
Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa,
atau, kegiatan (PPh pasal 21).
Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerinrtah (PPh pasal 22).
Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerinrtah (PPh pasal 22).
Pemotongan Pajak
penghasilan (PPh) dari modal atau penggunaan harta orang lain, hadiah, dan
penghargaan (PPh Pasal 23)
Pelunasan PPh diluar negeri atas penghasilan diluar
negeri (PPh pasal 24).
Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri (PPh pasal 26).
Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri (PPh pasal 26).
Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupatanah atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya (PPh Pasal 4 ayat 2).
2.Pelunasan Pajak di
akhir tahun
Pelunasan lajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan
dengan cara:
Membayar pajak yang kurang disetor yaitu menghitung sendiri jumlah pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurang dengan jumlah kredit pajak tahunyangbersangkutan.
Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak, apabila terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.
Membayar pajak yang kurang disetor yaitu menghitung sendiri jumlah pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurang dengan jumlah kredit pajak tahunyangbersangkutan.
Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak, apabila terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.
(kesimpulan) Maksud baik pemerintah untuk mendorong
peningkatan daya beli masyarakat pekerja melalui program stimulus fiskal berupa
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah (PPh Pasal 21 DTP)
sepertinya belum ditanggapi sebagaimana yang diharapkan. Dalam beberapa
kesempatan, Dirjen Pajak menyatakan realisasi PPh Pasal 21 DTP yang telah
diberikan kepada pekerja masih jauh dari anggaran dalam APBN 2009 sebesar
Rp.6,5 triliun. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor SE-64/PJ/2009 tanggal 7 Juli
2009, Dirjen Pajak menginstruksikan jajarannya untuk melakukan sosialisasi PPh
Pasal 21 DTP kepada serikat pekerja, dinas tenaga kerja maupun asosiasi
perusahaan terkait.
Yang Mendapat Stimulus
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
43/PMK.03/2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang penghasilan
brutonya dalam satu bulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak
lebih dari Rp.5.000.000. Pekerja yang mendapat stimulus fiskal ini adalah yang
bekerja pada pemberi kerja tiga kategori usaha tertentu, yaitu pertanian
termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan, dimana didalamnya
terdapat 74 sub sektor usaha, perikanan dengan 19 sub sektor usaha dan industri
pengolahan yang mencakup 370 sub sektor usaha.
Pengertian pekerja, sebagaimana ditegaskan dalam
SE-64/PJ/2009, termasuk pekerja di cabang perusahaan dan pekerja pada
perusahaan penyedia tenaga kerja (outsourcing) yang ditempatkan pada perusahaan
pemberi kerja yang berusaha pada tiga kategori usaha tersebut di atas. Termasuk
pula pekerja pada pemberi kerja yang melakukan pekerjaan pengolahan barang
berdasarkan pesanan (maklon) yang pekerjaan pengolahannya memenuhi kategori
usaha industri pengolahan.
PPh Pasal 21 DTP diberikan mulai masa pajak Februari
2009 sampai dengan masa pajak November 2009. Sampai dengan masa pajak Juni
2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada seluruh pekerja, baik yang sudah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun yang belum. Besarnya PPh Pasal
21 DTP yang diterima pekerja adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif
umum UU PPh dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak 20% lebih tinggi bagi
pekerja yang belum memiliki NPWP.
Hak Pekerja
PPh Pasal 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai pada
saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebesar PPh Pasal
21 yang terutang atas penghasilan pekerja. Sebagai contoh, seorang pegawai yang
penghasilan brutonya sebulan Rp.5.000.000, dengan status menikah dan mempunyai
2 anak serta yang bersangkutan membayar iuran pensiun Rp.25.000 sebulan, PPh
Pasal 21 yang terutang sebulan adalah sebesar Rp.153.750. Dengan adanya PPh
Pasal 21 DTP, PPh Pasal 21 yang terutang tersebut tidak disetor pemberi kerja
ke kas negara, tetapi diberikan kepada pegawai yang bersangkutan. Penghasilan
pegawai akan bertambah sebesar PPh Pasal 21 yang terutang sehingga penghasilan
yang diterima adalah Rp.4.975.000 (penghasilan bruto dikurangi iuran pensiun,
tanpa ada pengutangan PPh Pasal 21).
Dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal
21 kepada pekerja atau menanggung PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan
pekerja, PPh Pasal 21 yang dirunjang atau ditanggung tersebut tetap harus
diberikan kepada pekerja yang mendapat PPh Pasal 21 DTP. Dengan menggunakan
contoh tersebut di alas, apabila selama ini PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan
maka dengan adanya PPh Pasal 21 DTP penghasilan yang diterima pegawai menjadi
sebeur Rp.5.128.750 (penghasilan bruto dikurangi iurang pensiun ditambah PPh
Pasal 21 yang terutang).
PPh Pasal 21 DTP, berapapun jumlahnya, adalah hak
pekerja yang pemenuhannya dilaksanakan oleh perusahaan sebagai pemberi kerja.
Dengan mekanisme pembayaran seperti ini, mestinya pekerja akan menuntut haknya
kepada pemberi kerja jilca selama ini penghasilannya tidak ditambah dengan PPh
Pasal 21 DTP Apabila selama ini pekerja tidak mempermasalahkan haknya, salah
satu sebabnya mungkin adalah karena ketidaktahuan adanya stimulus fiskal ini.
Pada sisi lain, pekerja juga harus diberikan pengertian bahwa penambahan
penghasilan ini terbatas jangka waktunya, yaitu hanya dari masa pajak Februari
sampai dengan November 2009, sehingga mulai masa pajak Desember 2009 dan
seterusnya tidak akan ada lagi tambahan penghasilan dari PPh Pasal 21 DTP.
[1] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, 2011), hlm. 135
[2] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, 2011), hlm. 137
[3] Tunggul Anshari Setia Negara,
S.H., M.Hum, Pengantar Hukum Pajak,
(Malang, 2005), hlm. 94
[4] Drs. H. Hamdan Aini, Perpajakan, (Jakarta, 1993), hlm. 75
[5] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, 2011), hlm. 136
[6] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, 2011), hlm. 137
[7] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, 2011), hlm. 138-139
[8] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011, (Yogyakarta, 2011), hlm. 139-140
[9] Drs. H. Hamdan Aini, Perpajakan, (Jakarta, 1993), hlm. 77-78
[10] Tunggul Anshari Setia Negara,
S.H., M.Hum, Pengantar Hukum Pajak,
(Malang, 2005), hlm. 95-96
hmm.. informasi yg cukup berguna untuk saya orang yang masih awam dalam dunia perpajakan
ReplyDeleteTerima kasih semoga bisa membantu
DeleteThanks gan bisa jadi bahan diskusi untuk mahasiswa hukum di kampus kami
ReplyDeleteTerima kasih semoga bisa membantu
DeleteMantab gan infonya,,,,https://www.nyampling(.)com
ReplyDeleteSiap terima kasih
DeleteReferensi utk anak Fakultas Hukum
ReplyDeleteDi tunggu kunjungan baliknya
https://www.arthamedina.com/2018/10/bangkit-pasca-di-phk.html?m=1
Siaapp
DeleteKeren. Ber manfaat
ReplyDeleteTerima kasih banyak. Senangnya bisa berbagi ilmu
DeleteKumpulan Software SEO https://allsof21.blogspot.com/search/label/SEO
ReplyDeleteinformasi seperti ini memang memiliki keasyikan sendiri ketika membacanya. apalagi saya orang awam yang memang termasuk paling sering melenceng.terimakasih informasinya gan
ReplyDeletesalam dari www.teknologivirals.online
Terima kasih banyak apresiasinya gan. Siaapp
Deletekeren http://duduksantaijo.blogspot.com/
ReplyDeleteTerimakasih infonyaa
ReplyDeleteJanlupa mampir apkgratisunduh,blogspot.com
njirr... ni skripsi kayaknya...
ReplyDeletemampir gan.. blusukanjember.blogspot.com