Hukum Pajak Ruang Lingkup Pajak Penghasilan


Baik saya disini akan mengulas mengenai hukum pajak yang berlaku di Indonesia khususnya mengenai pajak penghasilan. Berdasarkan kehidupan dalam masyarakat yang selalu dihantui oleh pajak pengahsilan maka saya akan memberikan sedikit pencerahan. Semoga sedikit pencerahan dari saya selaku penulis dapat membantu para pembaca yang budiman sekalian.

Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subyek pajak berkenaaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.[1]
Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subyek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subyek pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subyek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan / atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan / atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyektif.[2]
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan untuk menambah kekayaan ialah objek dari pajak penghasilan. Bagi wajib pajak dalam negeri penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia dikatakan sebagai objek pajak.
Prosedur keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran mengenai ketentuan hukum di bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu. Perbedaan itu terjadi antara wajib pajak dengan direktur Jendral Pajak dan jajarannya atas penetapan tentang pajak untuk jenis pajak pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan direktorat jendral pajak. Perbedaan persepsi juga dapat terjadi antara wajib pajak dengan gubernur/bupati/walikota, kepala dinas pendapatan daerah dan jajarannya di daerah atas penetapan besarnya utang pajak untuk pajak daerah. Selain itu, dapat juga terjadi perbedaan penafsiran antara wajib pajak dengan direktur bea cukai dan jajarannya atas penetapan bea masuk, cukai, sanksi administrasinya.[3]
Subyek Pajak dalam Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subyek pajak adalah:[4]
1.      Orang pribadi.
2.      Warisan yang belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak.
3.   Badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi, massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
4.   Bentuk Usaha Tetap, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Bentuk usaha tetap dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan, penggalian sumber daya alam, perikanan, tenaga ahli, dan lain sebagainya.
Subyek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:[5]
a.       Subyek pajak dari dalam negeri terdiri atas:
1.      Subyek pajak orang pribadi yaitu, orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2.      Subyek pajak badan yaitu, badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.  Subyek pajak warisan yaitu warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b.      Subyek pajak luar negeri terdiri atas:
1.    Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2.   Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah apabila wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto, tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum dan wajib menyampaikan SPT. Apabila wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia, dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto, tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan, dan tidak wajib menyampaikan SPT.[6] Yang tidak termasuk subyek pajak penghasilan yaitu:[7]
1.      Kantor perwakilan negara asing.
2.      Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
3.  Organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4.   Pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

Obyek Pajak dalam Pajak Penghasilan (PPh)
Objek yang mempunyai obyek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:[8]
1.  Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
2.      Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
3.      Laba usaha.
4.      Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
5.  Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalikan pajak.
6.      Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7.   Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8.      Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
9.      Sewa dan pengahsilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10.  Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11.  Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12.  Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14.  Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16.  Tambahan kekayaan itu yang berasal dr penghasilan yang belum dikenakan pajak.
17.  Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
18.  Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
19.  Surplus Bank Indonesia.
Obyek Pajak Penghasilan (PPh) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan untuk menambah kekayaan.[9] Bagi wajib pajak dalam negeri, obyek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi wajib pajak luar negeri, obyek pajak adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia. Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1.  Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3.      Penghasilan dari modal atau penggunaan harta seperti sewa, bunga, dividen, royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan dan sebagainya.
4.     Penghasilan lain-lain yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas.
Bagi wajib pajak dalam negeri, yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi wajib pajak luar negeri, yang menjadi obyek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Adapun yang tidak termasuk di dalam obyek pajak penghasilan (PPh) yaitu meliputi:
1.    Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2.    Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keuntungan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau bandan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3.      Warisan.
4.  Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
5. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
7.  Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
8.      Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
9.      Penghsailan dari modal uang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan pleh menteri keuangan.
10.  Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
11.  Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan raksadana selama 5 tahun pertama sejak pemberian ijin usaha.
12.  Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalanjan usaha atau kegiatan di Indonesia

Keberatan Atas Pajak Penghasilan (PPh)
Dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2008. Ketentuan mengenai keberatan atas pajak penghasilan diatur dalam pasal 25. Untuk mengajukan keberatan, prosedur yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:[10]
1.    Wajib pajak mengajukan keberatan kepada direktur jendral pajak atas pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.     Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak disertai alasan-alasan yang jelas.
3.  Keberatan diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
4.      Keberatan yang diajukan tidak menunda kewajiban membayar pajak (dalam hal ini 50% utang pajak harus dilunasi dahulu sebagai syarat diterimanya keberatan ini) dan tidak menghalangi tindakan penagihan pajak.
Satu surat keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya Pajak Penghasilan (PPh tahun 2003) harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua lembar surat keberatan.
Wajib pajak yang mengajukan surat keberatan diberi tanda terima oleh pejabat Direktorat Jendral Pajak yang ditunjuk untuk itu. Bila wajib pajak memasukkan surat keberatan melalui pos tercatat maka resi pos digunakan sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan. Tanda bukti atau tanda terima atau resi pos penerimaan tersebut juga digunakan sebagai alat pengawasan bagi wajib pajak. Terutama untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat 1 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2008 berakhir.
Disamping itu, tanda bukti atau resi pos penerimaan diperlukan untuk memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut wajib pajak tidak menerima surat keputusan tentang keberatan dari Direktur Jendral Pajak. Sebelum wajib pajak mengajukan surat keberatan, wajib pajak diberi hak untuk meminta perhitungan atau pengenaan pajak yang dikenakan kepadanya. Perincian dasar pengenaan pajak ini digunakan untuk menyusun surat keberatan. Pejabat pajak harus memberikan permohonan ini kepada wajib yang bersangkutan.
Sebelum dikeluarkannya surat keputusan Direktur Jendral Pajak atas surat keberatan wajib pajak, wajib pajak diperbolehkan menyampaikan alasan-alasan tambahan atau penjelasan susulan. Keputusan Direktur Jendral Pajak atas surat keberatan wajib pajak tersebut antara lain:
1.      Menerima seluruh keberatan.
2.      Menerima sebagian keberatan.
3.      Menolak keberatan.
4.  Menambah besarnya jumlah pajak.
Dari keputusan atas keberatan tersebut, apabila wajib pajak merasa tidak puas atas suatu keputusan dari Direktur Jendral Pajak tersebut, masih ada upaya banding kepada pengadilan pajak.
Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut “kerugian” adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan).
2.5 Cara Melunasi Pajak Penghasilan (PPh)
1.Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang meliputi:
A.  Pembayaran sendiri oleh wajib pajak (PPh pasal 25) untuk setiap masa pajak.
B.  Pembayaran pajak melalui pemotongan/pemungutan pihak ketiga (orang pribadi atau badan baik swasta maupun pemerintah) berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak terutang selama tahun pajak itu berjalan , yaitu:.
Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau, kegiatan (PPh pasal 21).
Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerinrtah (PPh pasal 22).
Pemotongan Pajak penghasilan (PPh) dari modal atau penggunaan harta orang lain, hadiah, dan penghargaan (PPh Pasal 23)
Pelunasan PPh diluar negeri atas penghasilan diluar negeri (PPh pasal 24).
Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri
(PPh pasal 26).
Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupatanah atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya (PPh Pasal 4 ayat 2).
2.Pelunasan Pajak di akhir tahun
Pelunasan lajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
Membayar pajak yang kurang disetor yaitu menghitung sendiri jumlah pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurang dengan jumlah kredit pajak tahunyangbersangkutan.
Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak, apabila terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.
(kesimpulan) Maksud baik pemerintah untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja melalui program stimulus fiskal berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh pemerintah (PPh Pasal 21 DTP) sepertinya belum ditanggapi sebagaimana yang diharapkan. Dalam beberapa kesempatan, Dirjen Pajak menyatakan realisasi PPh Pasal 21 DTP yang telah diberikan kepada pekerja masih jauh dari anggaran dalam APBN 2009 sebesar Rp.6,5 triliun. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor SE-64/PJ/2009 tanggal 7 Juli 2009, Dirjen Pajak menginstruksikan jajarannya untuk melakukan sosialisasi PPh Pasal 21 DTP kepada serikat pekerja, dinas tenaga kerja maupun asosiasi perusahaan terkait.
Yang Mendapat Stimulus
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.03/2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang penghasilan brutonya dalam satu bulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp.5.000.000. Pekerja yang mendapat stimulus fiskal ini adalah yang bekerja pada pemberi kerja tiga kategori usaha tertentu, yaitu pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan, dimana didalamnya terdapat 74 sub sektor usaha, perikanan dengan 19 sub sektor usaha dan industri pengolahan yang mencakup 370 sub sektor usaha.
Pengertian pekerja, sebagaimana ditegaskan dalam SE-64/PJ/2009, termasuk pekerja di cabang perusahaan dan pekerja pada perusahaan penyedia tenaga kerja (outsourcing) yang ditempatkan pada perusahaan pemberi kerja yang berusaha pada tiga kategori usaha tersebut di atas. Termasuk pula pekerja pada pemberi kerja yang melakukan pekerjaan pengolahan barang berdasarkan pesanan (maklon) yang pekerjaan pengolahannya memenuhi kategori usaha industri pengolahan.
PPh Pasal 21 DTP diberikan mulai masa pajak Februari 2009 sampai dengan masa pajak November 2009. Sampai dengan masa pajak Juni 2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada seluruh pekerja, baik yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun yang belum. Besarnya PPh Pasal 21 DTP yang diterima pekerja adalah sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum UU PPh dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak 20% lebih tinggi bagi pekerja yang belum memiliki NPWP.
Hak Pekerja
PPh Pasal 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebesar PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja. Sebagai contoh, seorang pegawai yang penghasilan brutonya sebulan Rp.5.000.000, dengan status menikah dan mempunyai 2 anak serta yang bersangkutan membayar iuran pensiun Rp.25.000 sebulan, PPh Pasal 21 yang terutang sebulan adalah sebesar Rp.153.750. Dengan adanya PPh Pasal 21 DTP, PPh Pasal 21 yang terutang tersebut tidak disetor pemberi kerja ke kas negara, tetapi diberikan kepada pegawai yang bersangkutan. Penghasilan pegawai akan bertambah sebesar PPh Pasal 21 yang terutang sehingga penghasilan yang diterima adalah Rp.4.975.000 (penghasilan bruto dikurangi iuran pensiun, tanpa ada pengutangan PPh Pasal 21).
Dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada pekerja atau menanggung PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja, PPh Pasal 21 yang dirunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang mendapat PPh Pasal 21 DTP. Dengan menggunakan contoh tersebut di alas, apabila selama ini PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan maka dengan adanya PPh Pasal 21 DTP penghasilan yang diterima pegawai menjadi sebeur Rp.5.128.750 (penghasilan bruto dikurangi iurang pensiun ditambah PPh Pasal 21 yang terutang).
PPh Pasal 21 DTP, berapapun jumlahnya, adalah hak pekerja yang pemenuhannya dilaksanakan oleh perusahaan sebagai pemberi kerja. Dengan mekanisme pembayaran seperti ini, mestinya pekerja akan menuntut haknya kepada pemberi kerja jilca selama ini penghasilannya tidak ditambah dengan PPh Pasal 21 DTP Apabila selama ini pekerja tidak mempermasalahkan haknya, salah satu sebabnya mungkin adalah karena ketidaktahuan adanya stimulus fiskal ini. Pada sisi lain, pekerja juga harus diberikan pengertian bahwa penambahan penghasilan ini terbatas jangka waktunya, yaitu hanya dari masa pajak Februari sampai dengan November 2009, sehingga mulai masa pajak Desember 2009 dan seterusnya tidak akan ada lagi tambahan penghasilan dari PPh Pasal 21 DTP.



[1] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011,  (Yogyakarta, 2011), hlm. 135
[2] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011,  (Yogyakarta, 2011), hlm. 137
[3] Tunggul Anshari Setia Negara, S.H., M.Hum, Pengantar Hukum Pajak, (Malang, 2005), hlm. 94
[4] Drs. H. Hamdan Aini, Perpajakan, (Jakarta, 1993), hlm. 75
[5] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011,  (Yogyakarta, 2011), hlm. 136
[6] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011,  (Yogyakarta, 2011), hlm. 137
[7] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011,  (Yogyakarta, 2011), hlm. 138-139
[8] Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak, Perpajakan Edisi Revisi 2011,  (Yogyakarta, 2011), hlm. 139-140
[9] Drs. H. Hamdan Aini, Perpajakan, (Jakarta, 1993), hlm. 77-78
[10] Tunggul Anshari Setia Negara, S.H., M.Hum, Pengantar Hukum Pajak, (Malang, 2005), hlm. 95-96

Comments

  1. hmm.. informasi yg cukup berguna untuk saya orang yang masih awam dalam dunia perpajakan

    ReplyDelete
  2. Thanks gan bisa jadi bahan diskusi untuk mahasiswa hukum di kampus kami

    ReplyDelete
  3. Mantab gan infonya,,,,https://www.nyampling(.)com

    ReplyDelete
  4. Referensi utk anak Fakultas Hukum

    Di tunggu kunjungan baliknya

    https://www.arthamedina.com/2018/10/bangkit-pasca-di-phk.html?m=1

    ReplyDelete
  5. Kumpulan Software SEO https://allsof21.blogspot.com/search/label/SEO

    ReplyDelete
  6. informasi seperti ini memang memiliki keasyikan sendiri ketika membacanya. apalagi saya orang awam yang memang termasuk paling sering melenceng.terimakasih informasinya gan
    salam dari www.teknologivirals.online

    ReplyDelete
  7. Terimakasih infonyaa

    Janlupa mampir apkgratisunduh,blogspot.com

    ReplyDelete
  8. njirr... ni skripsi kayaknya...

    mampir gan.. blusukanjember.blogspot.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kesepakatan Menurut Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon

Mengenal Subjek Hukum

Lembaga Pembiayaan Bukanlah Leasing