Perjanjian Kredit Dalam Hukum Perbankan


   Kali ini saya selaku penulis akan mengupas mengenai kredit-kredit yang terjadi dalam kegiatan perbankan, khususnya mengenai hukum perbankan. Hukum Perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan. Tulisan ini akan mengupas mengenai kredit perbankan dalam segi teoritis meski dalam prakteknya sedikit berbeda dari teori.
     Secara segi bahasa atau etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin credere yang mempunyai arti kepercayaan. Dapat dicontohkan terdapat seorang nasabah yang memperoleh kredit dari bank maka dapar diambil pengertian nasabah tersebut memperoleh kepercayaan dari bank.
  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.
     Berdasar pasal 1 butir 11 Undang-Undang Perbankan menyatakan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau sepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
    Berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai pengertian kredit dapat diambil pengertian bahwa prestasi yang harus dilaksanakan oleh debitor atas kredit yang diberikan kepadanya merupakan tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga disertai dengan bunganya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
     Hal paling dasar atau paling esensial dari pemberian kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank selaku kreditor kepada nasabah yang kedudukannya disini sebagai debitor. Kepercayaan tersebut muncul dikarenakan terpenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk mendapatkan kredit bank oleh debitor, contohnya tujuan pemberian kredit, terdapat benda jaminan atau agunan, dan lain sebagainya. Makna dari kepercayaan itu adalah adanya keyakinan dari bank sebagai kreditor mengenai kredit yang diberikan kepada nasabah atau kreditor sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian.
   Pemberian kredit oleh bank di dalamnya pasti terdapat unsur-unsur kredit. Menurut Thomas Suyatno dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Perkreditan  mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit terdiri atas:
a.       Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi  yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam waktu tertentu di masa yang akan datang;
b.     Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima  pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang;
c.    Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos masa depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya usur resiko inilah maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit;
d.      Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.[1]
Berdasar uraian di atas tentang unsur-unsur kredit yang dikemukakan oleh Thomas Suyatni dapat diambil pengetian bahwa selain unsur kepercayaan tersebut di dalam permohonan kredit juga mengandung unsur lain diantaranya unsur waktu, unsur resiko, dan unsur prestasi.
Pemberian kredit oleh bank didalamnya pasti juga terdapat unsur waktu. Contoh yang banyak terjadi dalam masayarakat mengenai unsur waktu yaitu pelunasan kredit dilakukan melalui angsuran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh debitor. Pelunasan Kredit Pemilikan Rumah atau KPR misalnya dengan jangka waktu pelunasannya sampai dengan 20 tahun.
Bertitik tolak dari jangka waktu dan penggunaannya menurut Hermansyah dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan Nasional Indonesia kredit dapat digolongkan dalam tiga jenis diantaranya:
a.       Kredit Investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan kepada debitor untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasan ataupun pendirian proyek baru, misalnya pembelian tanah dan bangunan untuk perluasan pabrik yang perluasannya dari hasil usaha dengan barang-barang modal yang dibiayai tersebut. Jadi kredit investasi adalah kredit jangka menengah atau panjang yang tujuannya untuk pembelian barang modal atau jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi, perluasan, proyek penempatan kembali/atau pembuatan proyek baru;
b.      Kredit modal kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam bentuk rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan waktu maksimal satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan anatara pihak yang bersangkutan. Dapat juga dikatakan bahwa kredit ini diberikan untuk membiayai modal kerja, dan modal kerja adalah jenis pembiayaan yang diperlukan untuk operasi perusahaan sehari-hari;
c.       Kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitor untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan nasabah debitor yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, kredit konsumsi merupakan kredit perorangan untuk tujuan nonbisnis, termasuk kredit pemilikan rumah atau KPR. Kredit konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian mobil atau barang konsumsi barang tahan lama lainnya.[2]
Berdasar uraian diatas yang dijelaskan oleh Hermansyah dapar diambil pengertian bahwa apabila didasarkan dari penggunaannya dan jangka waktunya terdapat adanya tiga macam kredit yaitu kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi.
Pemberian kredit yang diberikan bank sebagai kreditor kepada nasabah selaku debitor pada prakteknya di lapangan rentan terjadi masalah misalnya timbul kredit macet dikemudian hari. Penilaian suatu bank untuk memberikan presetujuan kredit terhadap suatu permohonan wajib berpedoman pada formula 4P dan formula 5C. Hermansyah dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan Nasional Indonesia  menyatakan bahwa:
a.       Personality, dalam hal ini bank mencari data secara lengkap mengenai kepribadian si pemohon kredit antara lain mengenai riwayat hidupnya, pengalamannya dalam berusaha, pergaulan dalam masyarakat, dan lain-lain. Hal ini diperlukan untuk menentukan persetujuan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit;
b.      Purpose. Selain mengenai kepribadian dari pemohon kredit, bank juga harus mencari data tentang tujuan atau penggunaan kredit tersebut sesuai line of business kredit bank yang bersangkutan;
c.       Prospect, dalam hal ini bank harus melakukan analisis secara cermat dan mendalam tentang usaha bentuk usaha yang akan dilakukan oleh pemohon kredit. Misalnya, apakah usaha yang dijalankan oleh pemohon kredit mempunyai prospek di kemudian hari ditinjau dari segi ekonomi dan kebutuhan masyarakat;
d.      Payment. Bahwa dalam penyaluran kredit, bank harus mengetahui dengan jelas mengenai kemampuan dari pemohon kredit untuk melunasi utang kredit dalam jumlah dan jangka waktu yang ditentukan;
e.       Character, bahwa calon nasabah memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan kemauan dari calon nasabah debitor untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha. Dan informasi usaha-usaha yang sejenis;
f.       Capacity merupakan kemampuan calon nasabah debitor untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan dan menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan laba rugi, dan arus kas usaha beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini tentu dapat diketahui pula mengenai tingkat solvabilitas, likuditas, dan rentabilitas usaha serta tingkat resikonya. Pada umumnya penilaian capacity seseorang didasarkan pada pengalamannya di dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah debitor, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan persaingan usaha dengan pesaing lainnya;
g.      Capital, dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribus modal ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan efektif;
h.      Collateral adalah suatu jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman atas resiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitor di kemudian hari, misalnya saja terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit baik utang pokok maupun bunga dari utang tersebut;
i.        Condition of Economy, bahwa dalam pemberian kredit oleh bank kondisi ekonomi secara umum dan kondisi  sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.[3]
Berdasar uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa bank dalam pemberian kredit berpedoman pada dua prinsip yaitu prinsip kepercayaan dan prinsip kehati-hatian. Maksud dari prinsip kepercayaan yaitu bank mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikan pada debitor bermanfaat sesuai dengan peruntukannya dan debitor mampu melunasi kreditnya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Maksud dari prinsip kehati-hatian ini diwujudkan dalam penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan perbankan.
Selanjutnya penulis hendak membahas mengenai perjanjian kredit pada sistem perbankan. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bungan, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.[4]
Mengenai perjanjian kredit, perjanjian kredit sama halnya dengan perjanjian pembiayaan konsumen hanya saja yang mengeluarkan pihak perbankan sehingga diberi nama perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok yang bersifat riil. Sebagai perjanjian pokok maka perjanjian jaminan kebendaan merupakan perjanjian tambahan yang sifatnya accesoir, ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokoknya.
Apabila dilihat dari bentuknya perjanjian kredit umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku. Berdasar hal tersebut dalam praktiknya bentuk perjanjian telah disediakan oleh pihak bank selaku kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian demikian itu biasa  disebut dengan perjanjian baku. Hal ini pihak debitor hanya dalam posisi yang menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar menawar.
Berdasar uraian di atas mengenai perjanjian kredit Muhammad Djumhana menyatakan perjanjian kredit memiliki fungsi yaitu:
a.       Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok;
b.   Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor;
c.       Perjanjin kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.[5]
Mengenai jaminan menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberia Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengang yang diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 yang dimaksud dengan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Berdasarkan sifatnya jaminan dibagi menjadi dua yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan seperti yang telah penulis ulas pada tulisan yang sebelumnya. Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (borgtoch) adalah jaminan pihak ketiga yang betindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitor. Berdasar uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa jaminan perorangan merupakan perjanjian antara kreditor dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitor.
Pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor yang dijamin pemenuhannya seluruh atau sebagian, apabila debitor tidak dapat memenuhi perjanjian sesuai apa yang diperjanjikan dengan kreditor maka harta benda si penanggung bisa disita dan dilelang menurut ketentuang pelaksanaan eksekusi jaminan.
Kedua yaitu jaminan kebendaan, jaminan kebendaan merupakan suatu tindakan berupa penjaminan terhadap benda milik debitor guna terpenuhinya kewajiban-kewajiban debitor. Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari keakayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan yang menyediakan jaminannya guna pemenuhan kewajiban dari debitor. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan dari debitor mauoun kekayaan pihak ketiga.
Sekian ulasan mengenai pemberian kredit dalam hukum perbankan mengenai eksekusi apabila debitor cidera janji akan penulis ulas pada tulisan yang lain. Semoga tulisan ini dapat membantu para pembaca semuanya. Terima kasih banyak.




[1] Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hlm 47.
[2] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm 61
[3] Ibid, hlm 64-65.
[4] Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 91
[5] Muhammad Djumhanna, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 70.

Comments

  1. bantu backlink mas
    kita sama-sama bermitra

    ReplyDelete
  2. Good, nambah pengetahuan bagi yang ingin kredit memulai usaha

    Monggo mampir juga di https://anakgblog.blogspot.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siaap. Terima kasih banyak kesenangan tersendiri tulisan saya bisa bermanfaat bagi sesama

      Delete
  3. Semisal ilustrasi gini mas, ada seorang kredit misalnya saja motor, kemudian ia telat membayar, kemudian pihak leasing menyita barangnya, terus yang kredit dan pihak leasing biasanya ada pertikaian,entah kecil atau besar.... Pertanyaan saya ada gak peraturan yang peraturan yang menjamin kreditur aman dan leasing juga aman.. Intinya tidak ada masalah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gini mas motor yang dijadikan objek jaminan tersebut apa sudah dibuat dengan akta fidusia hingga terbitnya sertifikat fidusia?
      Apabila belum maka pihak kreditor tidak memiliki hak untuk mengambil barang secara paksa, terjadi cacat hukum mas dasarnya pada UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Kareba kedudukan kreditor tersebut masih kreditor konkuren bukan kreditor preferen.
      Apabila ingin kedua belah pihak aman harus mengikuti amanat daru UU tersebut dengan cara mendaftarkan benda jaminan tersebut pada kanwil kemenkumham hingga terbit sertifikat fidusa.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kesepakatan Menurut Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon

Mengenal Subjek Hukum

Lembaga Pembiayaan Bukanlah Leasing