Persaingan Usaha Tidak Sehat Beserta Kasus Yang Pernah Terjadi Di Indonesia

Hukum persaingan usaha diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Tujuan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1999 ini adalah menciptakan persaingan usaha sehat dan menjamin kepastian serta kesempatan berusaha yang sama bagi setiap masyarakat, mencegah praktek monopoli serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.[1]
UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang bentuk-bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Bentuk-bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha yang dilarang tersebut berupa perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang. Posisi dominan pelaku usaha pada perusahaan tertentu yang dapat menimbulkan praktek monopoli.
Untuk mengawasi Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 maka dibentuklah suatu lembaga yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU). KPPU mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999. Selanjutnya, KPPU menerbitkan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara (selanjutnya disebut Perkom No. 1 Tahun 2010) sebagai amanat dari Pasal 38 Ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999.
Mengacu pada Undang-undang Anti Monopoli yang sudah ada di berbagai negara khususnya pada ketentuan Sherman Antitrust Act Amerika Serikat, maka isi UU No. 5 Tahun 1999 yang dimiliki Indonesia sesuai dengan standar internasional, yaitu:[2]
1. Melarang perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4, 7 s/d 9, Pasal-Pasal 10 s/d 14, 22, 23);
2. Mengizinkan penetapan harga konsumen sampai ketingkat tertentu, perjanjian eksklusif, serta perjanjian lisensi dan perjanjian (Pasal-Pasal 5, 6, 15 dan Pasal 50 huruf b);
3. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 26 s/d 29);
4. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima barang dengan cara menyalah gunakan posisi dominan di pasar (Pasal 17, 18);
5. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan diskriminasi baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau menolak melakukan hubungan usaha (Pasal 7, 8,10, 19 s/d 21).
Menitikberatkan pada poin pertama isi dari UU No. 5 Tahun 1999 tersebut di atas, diatur ketentuan mengenai perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya kegiatan-kegiatan yang dilarang, bukan hanya penyalahgunaan atau oligopoli, melainkan juga persekongkolan yang mempunyai pemahaman yang berbeda. “Conspiracy” jauh lebih berkaitan dengan perjanjian terlarang antara pelaku usaha dibanding kegiatan dilarang pelaku usaha ataupun oligopoli.
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (8) UU No. 5 Tahun 1999 hal yang dimaksud dengan persekongkolan adalah “konspirasi usaha” yakni suatu bentuk kerjasama dagang di antara pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol tersebut.[3]
Penulis hendak mengangkat mengenai kasus yang terjadi di Indonesia. Kasus ini dilakukan oleh PT Temasek yang mempunyai saham pada perusahaan telekomunikasi yaitu telkomsel dan indosat pada tahun 2007. Telkomsel dan indosat di Indonesia menduduki sebagai posisi dominan yang mempunyai pangsa pasar lebih dari 75%.
Temasek Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu persen saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel. Berdasarkan data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya.
Seperti halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah menemukannya dengan berbagai metode atau teknik investigasi untuk menemukan maksud dan niat dibalik pembelian saham Indosat oleh Temasek tersebut. Sepak terjang Temasek di dunia telekomunikasi Indonesia semakin lengkap, dengan masuknya Temasek ke Perusahaan PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile). Dimana kepemilikan saham SingTel Mobile di PT Telkomsel adalah sebesar tiga puluh lima persen. Sedangkan Temasek sendiri memiliki kepemilikan saham di SingTel Mobile.[4]
 Dengan adanya kepemilikan saham tidak langsung oleh Temasek pada PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk telah memunculkan dugaan terjadinya praktek kartel dan oligopoli di bidang jasa layanan seluler. Hal ini disebabkan untuk jasa layanan seluler khususnya di jalur GSM, hanya ada tiga ‘pemain besar’ yaitu PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL). Ini artinya sekitar 75 market share telekomunikasi Indonesia di “kuasai” oleh Temasek dan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli kolusif di pasar telekomunikasi Indonesia.
Selanjutnya, yang menjadi bahan pertanyaan kita semua adalah apakah yang dimaksud dengan Oligopoli kolusif? Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan bahwa yang dimaksud Oligopoli ialah Perjanjian yang dilarang antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa melebihi 75% dari market share atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ketentuan Undang-Undang ini ditafsirkan secara otentik maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi baru dikatakan melakukan oligopoli kalau memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perjanjian dan unsur market share lebih dari 75%. Sehingga jika kemudian ditafsirkan secara a contrario maka, pelaku usaha yang tidak membuat perjanjian dan memiliki market share dibawah atau sama dengan 74%, tidak memenuhi definisi melakukan praktek oligopoli sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketentuan Undang-Undang ini jelas terlihat bahwa sesungguhnya Undang-Undang sendirilah yang membatasi pengertian dan ruang lingkup praktek oligopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian dan ruang lingkup ini membuat penegakkan hukum terhadap praktek Oligopoli ini menjadi kaku dan merugikan kepentingan pesaing yang dimatikan dan juga bahkan mungkin konsumen barang atau jasa dari pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tadi.
Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdepedence) antar pelaku usaha. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence. Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process) sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli, inilah yang disebut disebut praktek oligopoli kolusif. Perilaku ini akan mematikan pesaing usaha lainnya dan sangat membebankan ekonomi masyarakat.
Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel. Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka telibat dalam kolusi.
Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal secara konsep teknologi, dimungkinkan penggunaan untuk menekan harga unit pulsa menjadi sangat murah, contohnya adalah pada teknologi CDMA Flexi dan Esia yang sering dihambat perkembangan oleh “pihak-pihak tertentu” yang tidak menginginkan perkembangan bisnis usaha ini. Padahal jelas-jelas menguntungkan masyarakat.
Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme Gaya Baru.
Berdasar uraian diatas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor  Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka penulis menggunakan pendekatan Rule Of Reason. Terdapat dua pendekatan dalam hukum persaingan usaha diantaranya Rule Of Reason dan Perse Ilegal.
Pendekatan Rule Of Reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Pendekatan ini memungkinkan pengadilan melakukan interpretasi terhadap UU seperti mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian maupun kegiatan usaha yang termasuk dalam UU Antimonopoli tidak semuanya dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat. Sebaliknya, perjanjian-perjanjian maupun kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga menimbulkan dinamika persainga usaha yang sehat. Oleh karenanya, pendekatan ini digunakan sebagai penyaring untuk menentukan apakah mereka menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat atau tidak.[5]
Berdasar uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa kasus Temasek antara telkomsel dengan indosat telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undan Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat khususnya pasal 4 ayat 2 mengenai perjanjian oligopoli. Pasal 4 ayat 2 yang menyatakan pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.



[1] Rachmadi Usman. 2013. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Hlm. 91-93.
[2] Knud Hansen et. Al, 2001,  Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, Katalis, Jakarta,hlm. 2
[3] Munir Fuady, 1999,  Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 86
[4] www.KPPU.go.id, diakses pada tanggal 16 Mei 2018 pukul 18.30 WIB.
[5] Hukumonline.com, diakses pada tanggal 16 mei 2018 pukul 08.00 WIB

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kesepakatan Menurut Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon

Mengenal Subjek Hukum

Lembaga Pembiayaan Bukanlah Leasing