Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan FIdusia


Pengaturan hukum benda yang dikenal di Indonesia berdasarkan BW warisan dari hukum Belanda. Dalam BW mengenai hukum benda telah diatur dengan sangat jelas yaitu terdapat dalam buku II tentang benda. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyatakan bahwa:
Sistem pengaturan hukum benda itu ialah sistem tertutup. Artinya orang tidak bisa mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hanya dapat mengadakan hak kebendaan terbatas pada yang sudah ditetapkan dalam undang-undang saja. Ini berlawanan dengan sistem hukum perutangan karena hukum perutangan mengenai sistem terbuka artinya orang dapat mengadakan verbentenis ataupun perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturannya sama sekali.[1]
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa sistem hukum benda bersifat tertutup atau Dwingen Recht tidak dapat disimpangi, berbeda dengan sistem hukum perjanjian atau perikatan yang besifat terbuka.
Pada dasarnya hukum benda telah diatur dalam ketentuan buku II BW tentang benda. Menurut Rahmadi Usman dalam bukunya yang berjudul hukum kebendaan menyatakan bahwa istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (Belanda). Benda dalam arti ilmu pengetahuan hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum, yaitu sebagai lawan dari subjek hukum. Objek hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Menurut pasal 499 BW yang dinamakan dengan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.[2]
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa benda meliputi segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh subjek hukum, baik itu berupa barang maupun berupa hak, sepanjang objek dari hak milik itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Dalam buku II BW tentang benda, mengenai kebendaan dibedakan dalam berbagai macam. Pertama kebendaan dibedakan atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Kedua kebendaan dibedakan dapat pula dibedakan atas kebendaan berwujud dan kebendaan tidak berwujud. Ketiga kebendaan dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan. Keempat kebendaan dibedakan atas benda yang sudah ada dan yang baru akan ada. Kelima kebendaan dapat dibedakan benda dalam perdagangan dan benda diluar perdagangan. Keenam kebendaan dapat dibedakan lagi atas benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi. Ketujuh kebendaan dibedakan atas benda yang dapat diganti dan tidak dapat diganti. Dalam makalah ini penulis mengkhususkan mengenai kebendaan yang berwujud dan kebendaan yang tidak berwujud.
Kebendaan atas benda berwujud dan benda tidak berwujud disebutkan dalam ketentuan pasal 503 BW yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap kebendaan adalah berwujud (bertubuh) atau tidak berwujud (tidak bertubuh). Rachmadi Usman dalam bukunya yang berjudul hukum kebendaan menyatakan bahwa:
Kebendaan berwujud atau bertubuh adalah kebendaan yang dapat dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan, sedangkan kebendaan yang tidak berwujud atau bertubuh adalah kebendaan yang berupa hak-hak atau tagihan-tagihan. Pembedaan kebendaan berwujud dan kebendaan tidak berwujud penting berkaitan dengan penyerahan dan cara mengadakannya yang berbeda.[3]
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa benda yang berwujud merupakan benda yang daoat dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan, sementara kebendaan yang tidak berwujud merupakan kebendaan yang tidak bisa dilihat dengan mata dan tidak dapat diraba dengan tangan dengan contoh hak-hak dan tagihan-tagihan.
 Perihal mengenai hak cipta telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa hak cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengenai hak cipta merupakan benda tidak berwujud atau benda berwujud, maka mengacu kepada ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta khususnya yang termaktub dalam pasal 16 ayat 1 yang menjelaskan bahwa hak cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud.
Sebelum membahas mengenai pembebanan jaminan fidusia pada hak cipta maka harus mengetehaui apa yang disebut dengan jaminan. Menurut Tan Karnelo dalam bukunya yang berjudul hukum jaminan fidusia menyatakan bahwa:
Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Sementara itu seiring dengan perkembangan jaman muculah istilah hukum jaminan yang berarti keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.[4]
Menurut Salim HS dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Jaminan Indonesia mengungkapkan bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.[5]
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil pengertian bahwa jaminan sangat penting adanya dalam suatu perikatan karena jaminan dapat memberikan keyakinan bahwa debitor akan memnuhi kewajibannya sesuai apa yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Selanjutnya mengenai fidusia, fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam Bahasa Indonesia. Salim HS dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia menyatakan:
Undang-undang Khusus yang mengatur tentang hal ini yaitu Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, juga menggunakan istilah fidusia”. Dengan demikian fidusia sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum. Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti  “kepercayaan”.[6]
Berdasarkan dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa fidusia adalah suatu penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan, bukan sebagai gadai dan bukan juga sebagai pemindahan hak milik tetapi ikatan timbal balik atas dasar kepercayaan. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasarkepercayaan, dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie, mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihan di samping pertanggung jawaban umum debitur terhadap barang-barangnya.
Berdasarkan pernyataan diatas maka Salim HS menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Perdata Tertulis bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.[7]
Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta Jaminan Fidusia (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dalam akta jaminan fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia maka yang menjadi objek jaminan fidusia maka yang menjadi objek jaminan fidusia merupakan benda bergerak.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia objek jaminan fidusia ada 2 macam menurut Salim HS dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia meyatakan yang pertama benda bergerak, baik yang berujud dan tidak berujud dan yang kedua benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan disini dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun.[8]
Dari semua uraian di atas jika dikaitkan dengan hak cipta yang dibebani jaminan fidusia. Jika merujuj pada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pasal 16 ayat 3 menyatakan bahwa “hak cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia meskipun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan demikan. Kemudian pembebanan hak cipta dengan jaminan fidusia menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta pasal 16 ayat 4 menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai hak cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan”. Maka dari bunyi pasal tersebut dapat diambil pengertian bahwa hak cipta yang dibebani oleh jaminan fidusia harus dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Segala sesuatu yang dibebani oleh jaminan fidusia  wajib didaftarkan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum kebendaan maka Menurut Moch Isnaneni dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan Kebendaan terdapat beberapa prinsip-prinsip jaminan kebendaan yang diantaranya :
a.       Hak jaminan kebendaan itu bersifat mutlak artinya hak tersebut dapat ditegakkan terhadap siapapun, dimana hak itu tidak hanya ditegakkan pada pihak rekan seperjanjian saja, tetapi juga kepada pihak ketiga yang bukan mitra pembangun sepakat sekalipun;
b.      Dalam hak jaminan kebendaan ada ciri droit de suite, artinya bahwa hak tersebut akan selalu mengikuti bendanya kemanapun benda itu berada;
c.       Dalam hak jaminan kebendaan ada asas prioritas, artinya bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu akan diutamakan daripada yang lahir kemudian;
d.      Dalam hak jaminan kebendaan ada asas preferensi, maknanya bahwa kreditor pemegang hak jaminan kebendaan piutangnya harus dilunasi terlebih dahulu dari kreditor lain. Arti kreditor lain disini adalah para kreditor konkuren yang tentunya hanya mengandalkan jaminan umum dalam pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
e.       Dalam hak jaminan kebendaan ada asas publisitas, artinya bahwa hak kebendaan tersebut memerlukan suatu perbuatan hukum khusus yang wajib dilakukan sehingga umum atau masyarakat mengetahui keberadaan hak kebendaan yang bersangkutan;
f.       Dalam hak jaminan kebendaan ada asas totaliteit. Artinya bahwa hak jaminan kebendaan itu menindih keseluruhan benda yang bersangkutan secara utuh, bukannya sebagian demi sebagian;
g.      Bahwa hak jaminan kebendaan dilekati sifat tidak dapat dibagi-bagi (onsplitbaarheid), artinya dengan dilunasinya sebagian utang oleh debitor, bukan sebagian dari benda yang dijaminkan itu menjadi terbebaskan karenanya;
h.      Dalam hak jaminan kebendaan ada asas spesialitas, artinya suatu benda yang diikat dengan perjanjian jaminan kebendaan, ciri-cirinya harus ditetapkan dengan tegas dan jelas;
i.        Hak jaminan kebendaan memberikan sistem eksekusi agunan yang mudah. Apabila debitor wanprestas, kreditor punya kewenangan untuk melaksanakan eksekusi agunan yang mudah, sederhana, cepat, dan itu antara lain dengan menggunakan lembaga hukum parate eksekusi;
j.        Dalam hak jaminan kebendaan memiliki aturan pemberian perlindungan hukum secara proporsional kepada para pihak. Baik kreditor ataupun debitor, oleh undang-undang diberikan perlindungan hukum yang berimbang secara layak;
k.      Dalam hak jaminan kebendaan ada hak retensi. Demi mendapatkan pelunasan piutang secara tuntas, kreditor diberi wewenang untuk tetap menahan benda jaminan sampai dengan piutang yang bertalian dengan benda yang bersangkutan dilunasi;
l.        Hak jaminan kebendaan timbul setelah ada perjanjian jaminan kebendaan yang keberadaannya didahului dan bergantung pada perjanjian pokok;
m.    Pada dasarnya pemberi hak jaminan kebendaan hanyalah pemilik benda;
n.      Hak jaminan kebendaan itu untuk pelunasan pituang bukan hak untuk memiliki;
o.      Hak jaminan kebendaan dapat diletakkan secara berganda untuk obyek yang sama kecuali fidusia.[9]

Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwasannya dalam hukum jaminan kebendaan baik itu jaminan gadai, jaminan hipotek, jaminan hak tanggungan, dan jaminan fidusia harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut.
Dari uraian diatas maka dapat diambil pengertian bahwa hak cipta sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dapat dibebani dengan jaminan fidusia tetapi pelaksanaan pembebanan jaminan fidusia terhadap hak cipta sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan sesuai dengan asas atau prinsip hukum jaminan



[1] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2000, Hukum Benda, (Liberty: Yogyakarta), hlm 12.
[2] Rachmadi Usman, 2013, Hukum Kebendaan, (Sinar Grafika: Jakarta), hlm 48.
[3] Rachmadi Usman, Loc.Cit, hlm 81
[4] Tan Karnelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung : PT Alumni) hlm 31.
[5] Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada) hlm 21-22.
[6] Ibid, hlm. 113.
[7] Salim HS, 2003, Hukum Perdata Tertulis,(Jakarta: Sinar Grafika), hlm 127.
[8] Salim HS Op.Cit, hlm 64.
[9] Moch Isnaeni, 2016, Hukum Jaminan Kebendaan, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo), hlm 98-125.

Comments

Popular posts from this blog

Kesepakatan Menurut Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon

Mengenal Subjek Hukum

Lembaga Pembiayaan Bukanlah Leasing