Ruang Lingkup Dan Pembagian Jenis Kebendaan
Kali
ini saya selaku penulis akan membahas dan menelaah mengenai hukum kebendaan
khususnya ruang lingkup dan pembedaan jenis-jenis kebendaan. Isitlah kebendaan
sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu zaak.
Menurut rachmadi usman dalam bukunya yang berjudul hukum kebendaan menyatakan
benda dalam arti ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek
hukum, yaitu lawan dari subjek hukum.[1]
Objek hukum merupakan segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan dapat
menjadi objek dari suatu hubungan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur pengertian benda di dalam buku II khususnya pasal 499.
Benda
dalam hukum perdata masih bersifat abstrak dikarenakan tidak hanya terbatas
pada kebendaan yang berwujud saja tetapi
juga termasuk kebendaan yang tidak berwujud. Benda yang tidak berwujud disini
contohnya berupa hak. Kembali pada ketentuan yang tercantum di dalam pasal 499
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata benda memiliki pengertian berupa segala
sesuatu yang bisa dimiliki, dihaki, atau dijadikan objek hukum oleh subjek
hukum. Berdasar uraian pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
dikatakan benda ataupun objek hukum merupakan segala sesuatu yang dapat
dimiliki atau dikuasai.
Menurut
Sri Soedewi Maschjhoen Shofwan dalam bukunya yang berjudul hukum perdata
menyatakan benda pertama-tama ialah barang berwujud yang dapat ditangkap dengan
panca indera, tetapi barang yang tidak berwujud termasuk juga.[2]
Menurut Subekti benda dibagi atas 3 macam yaitu pertama benda dalam arti luas
adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, disini benda berarti
sebagai objek lawan dari subjek hukum. Kedua benda dalam arti sempit adalah
sebagai barang yang dapat terlihat saja. Ketiga benda yang berarti kekayaan
seseorang, yang meliputi barang-barang yang tidak terlihat yaitu hak.[3]
Berdasar
uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa benda dapat diartikan dalam arti
luas yaitu segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum atau dapat dihaki oleh
orang menurut hukum positif dan pastinya benda memiliki nilai yang ekonomis.
Benda dalam arti sempit dapat juga diartikan benda hanya terbatas pada
barang-barang yang berwujud saja.
Kitab
Undang Undang Hukum Perdata mebedakan benda ke dalam berbagai macam. Pertama
benda dibedakan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak tercantum dalam
pasal (504 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Kedua benda dibedakan atas benda
berwujud dan benda yang tidak berwujud hal ini tercantum dalam pasal 503 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata. Ketiga benda dibedakan atas benda yang dapat
dihabiskan dan benda yang tidak dapat
dihabiskan yang tercantum dalam pasal 505 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Benda dikatakan sebagai kebendaan bergerak
yang pertama karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan tempatnya tanpa
mengubah wujud, fungsi dan hakikatnya. Kedua dikarenakan undang-undang atau
hukum positif yang mengaturnya. Ketiga karena peruntukannya atau tujuannya
benda itu dibuat. Benda bergerak karena sifatnya telah tercantum dalam
ketentuan pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Benda dikatakan sebagai benda tidak
bergerak dalam hukum keperdataan yang pertama karena sifatnya, kedua karena
peruntukannya, ketiga memang ditetapkan menurut undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur
pembedaan kebendaan atas benda tidak bergerak, yaitu pasal 506, pasal
507, dan juga pasal 508 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal
506 Kitab Udang-Undang Hukum Perdata menyatakan kebendaan tak bergerak ialah:
a.
Pekarangan-pekarangan
dan apa yang didirikan diatasnya;
b.
Penggilingan-penggilingan,
kecuali apa yang nanti akan dibicarakan dalam pasal 510;
c.
Pohon-pohon dan
tanaman ladang, yang dengan akarnya menancap dalam tanah. Buah-buah pohon yang
belum dipetik, demikianpun barang-barang tambang seperti batu bara, sampah bara
dan sebagainya selama benda benda itu belum terpisah dan digali dari tanah;
d. Kayu tebangan
dari kehutan-hutanan dan kayu dari pohon-pohon yang berbatang tinggi, selama
kayu-kayuan itu belum dipotong;
e. Pipa-pipa dan
got-got yang diperuntukkan guna menyalurkan air dari rumah atau pekarangan, dan
pada umumnya segala apa yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku dalam
bangunan rumah.
Berdasar uraian pasal 506 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata diatas dapat diambil pengertian bahwa kebendaan
tidak bergerak dapat dibagi berdasarkan 5 hal tersebut.
Selanjutnya penulis hendak mengupas mengenai kebendaan berwujud dan kebendaan tidak berwujud. Pembedaan kebendaan berwujud dan kebendaan tidak berwujud terdapat dalam ketentuan pasal 503 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pasal 503 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan adalah berwujud (bertubuh) atau tidak berwujud (tidak bertubuh).
Selanjutnya penulis hendak mengupas mengenai kebendaan berwujud dan kebendaan tidak berwujud. Pembedaan kebendaan berwujud dan kebendaan tidak berwujud terdapat dalam ketentuan pasal 503 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pasal 503 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan adalah berwujud (bertubuh) atau tidak berwujud (tidak bertubuh).
Kebendaan
yang dapat dilihat dengan mata dan diraba dengan tangan merupakan kebendaan
yang berwujud. Kebendaan yang berupa hak-hak atau tagihan-tagihan merupakan kebendaan
yang tidak berwujud. Pengadaan dan penyerahan (leavering) dari kebendaan berwujud juga kebendaan tidak berwujud
caranya berbeda.
Bagi
penyerahan kebendaan bergerak yang berwujud cukup dilaksanakan dengan
penyerahan secara nyata dari tangan ke tangan antara kedua belah pihak yang
bersangkutan. Penyerahan kebendaan tidak bergerak yang berwujud dilaksanakan
dengan melakukan balik nama dalam register umum sebagaimana yang telah diatur
dalam ketentuan pasal 612 dan pasal 616 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Pembedaan
antara kebendaan berwujud dan kebendaan yang tidak berwujud juga masih dikenal
di negara-negara yang modern sekalipun. Dalam hukum Inggris yang sistem
hukumnya menganut sistem hukum Anglo
Saxon dikenal pembedaan atas kebendaan bergerak berwujud (tangible movables) dan benda bergerak
yang tidak berwujud (intangible movables).
Hukum Amerika juga dikenal perbedaan tangible
dan intangible property.
Pengertian benda tidak berwujud juga hampir sama dengan benda yang tidak
terlihat bentuknya namum memiliki nilai, seperti surat-surat berharga, saham,
surat piutang, hak tagih, hak klaim dan lain sebagainya.[4]
Selanjutnya
penulis hendak mengupas mengenai kebendaan
yang dapat dihabiskan (verbruikabare)
dan kebendaan yang tidak dapat dihabiskan (onverbriukabarezaken).
Pembedaan antara kebendaan benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak
dihabiskan disebutkan di dalam ketentuan pasal 505 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata yang bunyinya “tiap-tiap kebendaan bergerak adalah dapat dihabiskan
atau tidak dapat dihabiskan”.
Kebendaan
bergerak dikatakan dapat habis apabila benda tersebut dipakai kemudian menjadi
habis dan dengan habisnya benda tersebut menjadi berguna bagi seseorang,
contohnya kayu bakar, uang, makanan maupun minuman. Kebendaan bergerak
dikatakan tidak dapat dihabiskan apabila benda tersebut yang digunakan tidak
habis tetapi nilai ekonomis dari benda tersebut berkurang, contohnya televisi,
sepeda motor, piring, dan lain sebagainya.
Pembedaan
ini mempunyai arti penting yang terletak pada pembatalan perjanjian. Perjanjian
yang objeknya benda dipakai habis apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam
pemulihan keadaan semula. Penyelesaiannya harus diganti dengan benda lain yang
sejenis dan senilai. Sedangkan perjanjian yang objeknya benda tidak habis,
apabila dibatalkan tidak begitu mengalami kesulitan pada pemulihan dalam
keadaan semula, dikarenakan bendanya masih ada dan dapat untuk diserahkan
kembali.[5]
Perjanjian
yang sering digunakan untuk kebendaan yang dapat dihabiskan dan kebendaan yang
tidak dapat dihabiskan berdasar uraian di atas adalah perjanjian pinjam pakai
dan perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian pinjam pakai diatur dalam pasal 1740
Kitab Undang Undang Hukum Perdata sedangkan perjanjian pinjam meminjamn diatur
dalam pasal 1754 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Kebendaan
selanjutnya yang keempat yaitu kebendaan
yang dapat diganti (vervangbare zaken)
dan kebendaan yang tidak dapat diganti (overvangbarezaken).
Mengenai pembedaan kebendaan yang dapat diganti dan kebendaan yang tidak
dapat diganti tidak disebutkan secara tegas dan jelas di dalam Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, tetapi pada kenyataanya terdapat berbagai ketentuan dalam
pasal-pasal Kitab Undang Undang Hukum Perdata contohnya bagian perjanjian
penitipan barang.
Perjanjian
pentipan barang dalam ketentuan 1649 sampai dengan pasal 1739 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata. Pasal 1649 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan
“penitipan terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari seorang lain,
dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikan pada wujud asalnya”.
Berdasarkan
uraian pasal 1649 Kitab Undang Undang Hukum Perdata di atas dapat diambil
pengertian bahwa seseorang yang dititipi suatu barang mempunyai kewajiban untuk
mengembalikannya dalam wujud asalnya artinya barang tersebut tidak dapat
diganti dengan barang yang lain harus kembali sebagaimana asalnya pada saat
barang itu dititipkan. Dengan demikian objek perjanjian penitipan barang pada
umumnya kebendaan karena pemakaiannya tidak habis atau musnah.
Selanjutnya
mengenai kebendaan yang dapat dibagi (Deelbare Zaken) dan kebendaan yang tidak
dapat dibagi (Ondeelbare Zaken).
Pembedaan mengenai kebendaan atas benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak
dapat dibagi ini berdasarkan pada ketentuan pasal 1296 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Suatu benda dikatakan kebendaan yang dapat dibagi-bagi apabila
kebendaan itu dapat dipisah-pisahkan dan tetap dapat digunakan dikarenakan
tidak menghapuskan eksistensi dari kebendaan yang dipisah-pisahkan tersebut.
Contohnya penyerahan gula, penyerahan beras, penyerahan kopi, dan lain
sebagainya.
Suatu
benda dikatakan benda tidak dapat dibagi-bagi apabila kebendaan itu tidak dapat
dipisahkan dan merupakan satu kesatuan yang utuh apabila dibagii atau dipisah
benda tersebut tidap dapat dipergunakan. Sebab dapat menghapuskan eksistensi
dari kebendaan tersebut. Contohnya penyerahan sapi, penyerahan kuda, dan lain
sebagainya.
Pembedaan
kebendaan yang dapat dibagi-bagi dan kebendaan yang tidak dapat dibagi-bagi
memiliki arti penting dimana terletak pada pemenuhan prestasi dari suatu
perikatan. Perikatan yang memiliki objek benda dapat dibagi prestasi yang
dilakukan secara sebagian demi sebagian. Perikatan yang objeknya kebendaan
tidak dapat dibagi-bagi pemenuhan prestasinya tidak mungkin dilakukan sebagian
demi sebagian tapi harus secara utuh.
Selanjutnya
penulis hendak mengupas mengenai kebendaan
yang sudah ada (tegenwoordige zaken)
dan kebendaan yang akan ada (toekomstige
zaken). Pembedaan kebendaan atas benda yang sudah ada dengan benda yang
akan ada ini sangat penting adanya bagi pelunasan dan pelaksanaan jaminan
utang. Pembedaan kebendaan yang sudah ada dan benda yang baru akan ada
didasarkan pada ketentuan pasal 1334 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang
menyatakan :
a. Barang-barang
yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian;
b.
Tetap tidaklah
diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk
memunta diperjanjikan sesuatu mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya
orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu
dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 169, pasal 176, dan pasal 178.
Berdasarkan uraian ketetntuan pasal 1134
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas maka dapat diambil pengertian bahwa
objek suatu perjanjian tidak hanya kebendaan-kebendaan yang sudah ada, namun
dapat saja benda-benda yang akan ada dikemudian hari contohnya dalam perjanjian
jual beli kopi yang belum dipanen.
Selanjutnya mengenai kebendaan dalam perdagangan (zaken in de handel) dan kebendaan diluar
perdagangan (zaken buiten de handel)
pembendaan kedua kebendaan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 1332 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
Berdasar uraian pasal diatas dapat
diambil pengertian bahwa objek dari suatu perjanjian hanyalah kebendaan yang
dapat diperdagangkan. Tetapi pada dasarnya semua kebendaan dapat diperdagangkan
menjadi milik dari subjek hukum dapat dijadikan objek perjanjian secara bebas
diperdagangan maupun diwariskan.
Sebaliknya kebendaan dikatakan sebagai
kebendaan diluar perdagangan apabila benda itu dilarang dijadikan objek suaru
perjanjian sehingga kebendaan tersebut tidak dapat diperdagangkan, dihibahkan
maupun diwariskan kepada orang lain. Benda yang demikian disebabkan karena
peruntukannya, dilarang oleh ketentuan undang-undang, juga karena bertentangan
dengan kesusialaan dan ketertiban umum.
Sekian ulasan dari penulis mengenai
ruang lingkup dan pembedaan kebendaan dalam hukum keperdataan semoga dapat
membantu para pembaca sekalian. Terima kasih....
[1]
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), hlm 48.
[2]
Sri Soedewi Mascjhoen
Shofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty,
1981), hlm 13.
[3]
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermassa, 1979), hlm 50.
[4]
Djuhaedah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah atau
Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horizontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 129.
[5]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm 129.
Comments
Post a Comment