Ditolaknya Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Dasar melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terdapat 3 hal yaitu adanya novum, adanya kekhilafan hakim, adanya pertentangan hukum dalam menetapkan putusan. Materi yang diajukan dalam peninjauan kembali ke mahkamah agung tatarannya bukan dogmatik hukum melainkan sudah memasuki ranah teori hukum. Uraian tersebut mempunyai pengertian bahwa fakta-fakta persidangan yang telah dilakukan di saat tingkat 1, kemudian banding, maupun kasasi tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Mengajukan upaya hukum peninjauan kembali baik perkara pidana maupun perdata, salah satu syarat materiilmya adalah ditemukannya bukti baru atau keadaan baru, atau yang disebut dengan novum. Dalam perkara pidana novum atau keadaan baru terdapat dalam pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP. Tempat melekatnya alat bukti novum tidak disebutkan, maka novum dapat diperoleh dari alat bukti surat maupun saksi. Hal terpenting isi novum tersebut berupa keadaan baru yang sebelumnya ketika perkara diperiksa di tingkat pertama, keadaan baru itu belum diungkap di persidangan.
Suatu fakta barulah dapat disebut novum apabila memenuhi syarat-syarat. Pertama yang dimaksud novum (surat bukti yang besifat menentukan) menurut pasal 67 huruf b UU MA tersebut  adalah bukti surat yang isinya memuat suatu fakta yang sudah terdapat/ yang sudah ada pada saat sidang pemeriksaan perkara tersebut di tingkat pertama sebelum perkara itu diputus oleh pengadilan pemeriksa tingkat pertama.
Kedua namun fakta yang sudah ada dalam suatu surat itu belum diajukan dan diperiksa atau terungkap di dalam persidangan ketika perkara diperiksa dan sebelum diputus, melainkan baru diketahui/ ditemukan setelah perkara diputus.
Ketiga, apabila diajukan dan diperiksa dan dipertimbangkan oleh pengadilan, maka putusan pengadilan akan berlainan dengan putusan pengdilan yang terakhir.
Mengenai kekhilafan hakim ada beberpa pengertian. Sejumlah akademisi dan praktisi sebenarnya sudah memberikan pendapat mereka mengenai anasir kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. M. Yahya Harahap berpendapat ‘memasukkan sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan hukum’ termasuk dalam lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Adami Chazawi menyebutkan ada beberapa hal atau keadaan yang masuk lingkup itu.
Pertama, pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum.
Kedua, amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum. Ketiga, putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht). Keempat, pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut.
Berdasarkan hal peninjauan kembali yang diajukan oleh pengacara tidak memenuhi syarat novum tersebut maupun kekhilafan hakim. Syarat-syarat untuk memenuhi upaya hukum peninjauan kembali yaitu adanya novum, adanya kekhilafan hakim, dan pertentangan hukum dalam menetapkan putusan salah satunya juga tidak terpenuhi. Sehingga Mahkamah Agung secara tegas menolak upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan.

Comments

Popular posts from this blog

Kesepakatan Menurut Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon

Mengenal Subjek Hukum

Lembaga Pembiayaan Bukanlah Leasing